Thursday 20 December 2012

DERMAGA

Malam itu, mungkin malam yang terpanjang yang aku lewatkan dalam salah satu kisah hidupku. Bukanlah malam yang kulewati seperti biasanya. Sebenarnya tidak ada yang berbeda di malam itu, jika kubilang mungkin bukanlah sesuatu yang unik. Bulan separuh bersinar lembut di langit malam yang cukup terbilang cerah dan terlihat secercah awan yang tenang sedikit bergeming yang pula menyingkapkan bintang-bintang yang seolah bersembunyi di baliknya. Aku naik ke kapal itu untuk hendak berlayar menuju Tanjung Priok dari Pangkal Balam tempat aku tinggal sementara waktu bersama sanak saudara yang sangat kukasihi.

Dermaga itu cukup ramai dan penuh sesak. Ibu-ibu yang menggendong anaknya sambil menjinjing sebuah keranjang yang entah apa itu isinya namun tampak cukup berat untuk dibawa. Ada pula seorang muda dengan celana jeans biru yang berlubang tak berjahit di kedua lututnya sembari berkacak pinggang dengan rokok yang menyala mengepulkan asap di sela jari tangan kanannya, mata yang menatap kosong seolah tak peduli dengan sekitarnya. Tak lama kemudian, datanglah seorang bapak-bapak yang terlihat payah dan bingung sambil memegang tiket kapal seolah tak tahu kemana ia hendak pergi dan mencari, dan terdengarlah pluit yang mengisyaratkan kami semua untuk beranjak naik ke kapal untuk segera berangkat berlayar.

Segera aku pergi mencari tempat yang longar dan kosong, sampailah aku di pinggiran kapal itu sehingga aku dapat menghirup udara malam dan angin dermaga setelah beramai sesak yang penuh pengap tadi itu. Mesin pun berbunyi, kapal pun berlayar.

Aku melihat lampu-lampu Pangkal Balam yang semakin menjauh, mengecil…dan mengecil. Ku menengadah ke langit, kulihat bulan separuh yang tetap bersinar lembut dengan cercahan awan dan sedikit bintang yang berkilau redup. Riakan air dan ombak lautan terdengar sayup-sayup. Kembali aku menatap bulan itu, yang seolah ia pun menatap balik dan saling mengerti akan apa yang telah terjadi. Obrolan, tangisan anak kecil, suara orang berlalu-lalang di balik itu seolah sudah tak terdengar lagi. Aku terhanyut dalam tatapan bulan, riakan-riakan air yang terterpa buritan kapal dan desiran lembut angin di malam itu.

Ya, malam itu membawaku kembali kepada ingatan tiga tahun yang lalu. Sebut saja Lastri, seorang gadis berparas manis yang telah mengisi hidupku sekian tahun lamanya. Tak pernah kulupa hari di siang yang terik itu, ketika kami bersama lulus dari sebuah sekolah menengah di Belitung sana. Kami memang begitu dekat dan siang hari itu aku berada di rumahnya sembari menunggu orang tua kami membawa berita baik akan kelulusan kami.

“Indra, seperti biasa kamu lulus dengan predikat yang memuaskan, ini raportmu dan selamat untukmu.” Kata ibu Lastri yang datang sembari memberikan sebuah amplop.

Tentu saja, hati siapakah yang tidak girang dengan jerih payah yang membuahkan hasil? Telah terbayangkan olehku beribu rencana menatap masa depan yang lebih baik, menempuh jenjang yang lebih tinggi dan mencari lapangan kerja yang menjanjikan.

“Sudah biasa bukan kau dapat nilai segitu? Tapi sepertinya beda sekali kau hari ini.” Kata Lastri sembari membuka amplop raport itu.

“Tentu Lastri, sebenarnya sudahlah impianku untuk pergi merantau mencari kesempatan demi meraih cita-citaku.”

“Merantau? hendak ke mana?”

“Ke ibu kota, aku yakin di sana ada begitu banyak jalan untuk mewujudkan impianku.”

Lastri tampak diam sejenak, raut wajahnya yang tadi berseri seolah diam, aku tahu ia sedang memikirkan sesuatu.

“Apa yang kau pikirkan Lastri?”

“…Indra, kurasa bukankah harapan ayahmu adalah kau meneruskan usahanya di Belitung ini…?”

“Ya, aku mengerti akan keinginan ayahanda, namun bagiku aku harus memiliki bekal lain di saat aku masih muda. Ikutlah denganku Lastri, di ibu kota akan begitu banyak harapan dibandingkan di sini.”

“Itu tak mungkin, engkau tentu tahu aku memiliki adik yang harus pula aku hidupi bersama ibuku seorang, jika aku pergi apa jadinya mereka nanti? Ibunda sudah tak sanggup karena usia. Ini pula pesan mendiang ayah.”

Perbincangan ini tak dirasa melewatkan waktu di siang hari yang terik itu. Lastri sebenarnya pun memiliki impian yang sama yaitu merantau ke ibu kota, namun ia harus mengurungkan impian itu semenjak sepeninggal ayahnya. Kami sudah berteman dan begitu dekat sejak kecil dan tumbuh bersama di Pangkal Balam. Mungkin, tanpa aku berkata sepatah kata, ia langsung tahu akan apa yang aku pikirkan dan apa yang hendak kukerjakan.

“Kurasa….ayah kau pun berkehendak demikian Indra. Walau aku tidak seberuntung kamu, tetapi…besar pula harapanku kamu tetap di sini.”

“Aku mengerti….tetapi….terlalu sayang gelora jiwa mudaku harus tinggal di kota ini, sementara kesempatan masih bisa kuraih.” Kataku dengan bertetap hati.

“Sudahkah kau bertetap hati? Aku hanya tak ingin kita berpisah Indra…namun jika itu keputusanmu, jalanilah dan berjanjilah kau akan kembali lagi ke tanah lahirmu.” ucap Lastri dengan datar.

“Ah, kita sudah sekian lama dan aku pun mengenalmu lebih dari siapa pun. Biarlah aku pergi demi meraih hari esok dan aku akan kembali dengan penuh bangga, kau akan melihatnya.”

Aku sangat mengerti, memang demikian si Lastri. Sedari kami kecil bermain bersama tak pernah sekalipun ia mau untuk ditinggal barang sejenak. Tetapi kami telah beranjak dewasa, aku pun mengerti akan apa yang ia inginkan, dan aku tetap bertetap hati mengejar meraih cita.

Tak lama sesudah itu aku berkemas, dengan wajah berseri aku seolah menatap masa depan hari esok yang siap menanti, namun Lastri hanyalah diam tak bersuara dengan raut wajah seolah tak akan bersua kembali, berjalan sepanjang setapak menuju dermaga aku akan berlayar.

“Tak usahlah kau khawatir Lastri, pastilah aku kembali dari tanah rantau ke tempat lahirku di sini. Cukup katakan kepadaku ketika kau siap, aku pun senantiasa sedia menjemputmu.”

Aku pun pergi dan berlayar menuju Tanjung Priok di sore hari itu. Matahari bersinar meredup seolah turut melepas kepergianku dari tanah Pangkal Balam. Lastri pun tetap berdiri menatapku di tepi dermaga itu melepas kepergianku sambil sesekali melambaikan tangannya. Semakin menjauh tak terlihat, demikianlah jarak memisahkan antar manusia, pula mendekatkan kepada peristiwa lainnya. Dan tibalah aku di Jakarta, tempat impianku mengejar cita.

Setahun, dua tahun, tiga tahun lepas berlalu dan aku semakin sering merindukan Lastri. Kami bersurat selalu memberikan menceritakan kabar akan kerinduan, namun sudah setahun aku mulai jarang mendengarkan kabarnya semenjak ibunda Lastri telah meninggal karena sakit. Kini aku semakin menyadari bahwa aku sebenarnya sangat mencintai Lastri, namun sikapku yang sangat mementingkan diri hingga tak menyadari kehadiran Lastri hingga aku bertetap untuk merantau.

Kuputuskan untuk kembali ke Pangkal Balam dengan hati yang tak muat lagi menahan rindu. Seperti aku bergegas berkemas menuju Tanjung Priok, aku pun berkemas kembali untuk berlayar ke tanah lahirku di Pangkal Balam. Kutinggalkan sejenak mimpi kejar raih citaku demi memenuhi rasa hati penuh rindu ini yang telah lama aku lupakan dan aku sangkali.

Siang itu, langit cerah dan Matahari bersinar terang menyinari Pangkal Balam. Pepohonan rindang dengan dedaunan yang menutup satu sama lain seolah tak mampu menghadang tembusan sinar Matahari di siang itu. Setibaku di sana, segera bergegas aku ke rumahku dan menuju rumah Lastri.

“Indra, mengapa kau begitu terburu-buru pergi? Baru saja kau sampai di rumah. Hendak ke rumah Lastri kah? Berikanlah buah mangga itu kepadanya, dan titip ucapan selamatku kepadanya.” ujar kakakku dari balik jendela tempat ia berkebun.

“Selamat?....” tanyaku yang tak mengerti ucapan kakakku itu.

“Ucapkan selamatku kepada Lastri yang telah lahir puteri pertamanya…kurasa, ini pula alasan kedatanganmu yang begitu cepat ini bukan?”

Tak kuhiraukan kembali kata kakakku, kuraih sepedaku dan segera aku bergegas menuju rumah Lastri yang tiga kilometer jauhnya dari rumahku. Kudapati ia dengan daster birunya duduk di pekarangan rumahnya. Perlahan aku berjalan mendekat sembari aku berdoa dan berharap telingaku tuli tadi itu, namun nampaknya tidak sedemikian adanya. Tampak dariku ia sedang menggendong bayi mungil yang terus ia timang tak terlepaskan. Ia telah menjadi seorang ibu. Benarlah apa yang kudengar siang itu, koyak rasanya dada ini namun masih kutahan dan berharap itu semua tak benar.

“Indra !!” sapa Lastri dari kejauhan yang telah menyadari kehadiranku.

Dengan berusaha untuk tersenyum aku menyapanya kembali dan kami berbincang di siang menjelang sore di hari itu. Kusampaikan kepadanya tujuanku bergegas pulang, dan Lastri mengisahkan hidupnya sepeninggal ibunya, yang kemudian ia dilamar oleh seorang pemuda yang tak lain juga seorang temanku di sekolah menengah itu.

“Lastri…mengapa kini engkau menangis?” ucapku yang melihat Lastri berkisah sambil berlinang air mata.

“Aku terkenang masa-masa silam Indra…kita yang selalu bersama dan kau tak pernah sekalipun pergi meninggalkan aku. Di sampingku di kala sedih, di kala senang. Namun itu semua sudah menjadi masa lampau.”

“Ya…dan kini gadis yang hendak kujemput telah menjadi masa silam dan lampau…” kukatakan itu sambil hati berdebar-debar dan terus menahan air mata di pelupuk mata.

“Indra…kejarlah kembali cita-citamu, kejarlah dan gapailah impianmu…aku pun mencintaimu, namun tak mungkin bagiku untuk mencintai dua pria sekaligus…” ucapnya dengan suara bergetar.

“Lastri…tak mungkinlah itu terjadi, hanya cinta seorang ibu kepada putera-puteranya lah yang demikian…”

Tak dapat kuteruskan kembali perbincangan di sore menjelang malam itu, dan kuputuskan untuk kuakhiri dan segera pulang. Kukayuh cepat sepedaku di sore itu. Sesak rasanya dada ini mendengar dan mengingat perbincangan tadi. Aku mencoba untuk tertawa…tertawa keras…di sepanjang perjalanan itu…ya, menertawakan akan kebodohan dan keegoisan diriku selama ini dan untuk kembali menyangkali kesedihanku. Bukan hati riang dan lupa akan kepedihan itu, melainkan semakin nyeri dan sakit dada ini, dan…melimpah ruahlah sudah air mata yang sedari tadi kutahankan. Mata, mulut, lidah dan muka boleh berbohong, tetapi hati ini bagaimana pun terlalu jujur untuk berdusta dan didustai.

Tibalah aku di rumahku, tak pernah kulupakan bagaimana penampilanku di malam itu. Rambut yang kusut masai, mata yang sembap dengan air muka yang sudah tak memiliki gairah, dan baju yang basah kuyub kumal keringat. Mungkin hanya kakakku lah yang sudi melihatku di malam itu.

Di kamar, menangislah aku, ya, menangislah aku di malam itu seolah seperti baru menyadari bahwa waktu memang tak akan pernah diputar kembali. Tak peduli lagi aku akan diriku, bajuku, hingga pikiranku yang begitu suntuk. Namun terlelaplah aku begitu lelahnya, lelah raga, lelah jiwa.

Angin malam berdesir begitu lembut, gesekan daun-daun pepohonan seolah ikut serta berbisik menenangkan hati yang sudah penuh koyak ini. Malam itu bulan purnama yang begitu terang, dan sinarnya masuk menyelinap dari antara dedaunan itu ke dalam melalui jendela kamarku.

Itulah kenangan itu, dengan langkah mantap aku kembali ke ibu kota melalui Tanjung Priok. Akan kuraih dan kutagih mimpi cita-citaku yang terpendam sejak tiga tahun berlalu.

Kini, berdiri aku di tepian kapal itu. Bulan separuh yang tak bergeming untuk terus menyinarkan terangnya, ditemani gemerlap bintang-bintang yang sering tampak malu bersembunyi di balik cercahan awan. Pangkal Balam sudah jauh tak terlihat, namun aku tak lagi merasa sendiri. Ku lihat dari kejauhan kilauan cahaya-cahaya terang di tepian pantai. Bubungan-bubungan kapal dengan peluit yang saling bersahut-sahutan. Tibalah kini aku menyongsong Tanjung Priok, langkah pertamaku untuk masuk menuju ibu kota. Ufuk fajar yang mulai sedikit terlihat, inilah terang yang sudah kunanti setelah melewati malam panjang perjalanan itu.

Dermaga, di sanalah aku beranjak, ke sanalah aku kembali esok hari nanti.




Oleh Albert Prasetya, 21 Desember 2012.

No comments:

Post a Comment